LintasKhatulistiwa.com, TALIABU – Pemerintah Provinsi Maluku Utara saat ini mengajukan judicial review UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah dan UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ke Mahkamah Konstitusi. Langkah yang dilakukan pemerintah Maluku Utara ini, mendapat dikungan dari Ketua Harian DPP KNPI, Rusdi Yusuf.
Hal ini menurutnya, merupakan langkah maju dan perlu, guna menjaga proporsionalitas dan keseimbangan pembangunan pusat dan daerah sebagaimana prinsip otonomi daerah. Karena, selayaknya daerah-daerah penghasil komoditas strategis mendapatkan proporsi pendapatan yang sebanding dengan produksi kekayaan alam yang dimilikinya. “Apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi Maluku Utara ini langkah untuk mendapatkan perlakuan yang adil dalam pendapatan sebagai daerah pengfhasil yang dikelola oleh pusat. Formulasi kebijakan harus mendasarkan pada kenyataan faktual, terutama dalam hal ini besaran dana bagi hasil yang sebanding. Jika memang daerah itu punya kekayaan tambang dan migas yang besar, maka sudah semestinya mendapatkan proporsi dana bagi hasil yang sebanding. Tidak adil jika dana bagi hasil punya nilai yang kecil sehingga tidak mampu mendukung kinerja pembangunan daerah,” kata Rusdi.
Dirinya mencontohkan di Maluku Utara, dengan melakukan rujukan Laporan Kementerian Keuangan (2023), total alokasi DBH pertambangan mineral dan batubara Pemprov Maluku Utara pada tahun 2022 adalah Rp 82,39 M. Pendapatan bagi kab/kota juga lebih kecil. Kab. Halmahera Tengah (Rp 54,16 M), Kota Ternate (17,05 M), Kab. Halmahera Barat (19,12 M), Kab. Halmahera Timur (43,54 M), Kab. Halmahera Selatan (58,82 M), Kab. Halmahera Utara (48,82 M), Kab. Kepulauan Sula (23,02 M), Kab. Tidore Kepulauan (18,59 M), Kab. Pulau Morotai (17,42 M), dan Kab. Pulau Taliabu (32,71 M). jika diakumulasi, total DBH sektor pertambangan mineral dan batubara untuk seluruh daerah di Maluku Utara adalah sebesar Rp 415,64 M. “Hal ini bila diklakulasi dengan hasil yang diperoleh sangat tidak seimbang, maka wajar Pemprov Malut melakukan judicial review UU 1/2022 ke MK,”cetusnya.
Bahkan, dirinya mempertanyakan, nilai DBH tambang/batubara sebesar Rp 415,64 M ini sudah proporsional bagi daerah seperti Maluku Utara sebagai salah satu wilayah penghasil mineral dan batubara? Sementara pada tahun 2021, Kementerian ESDM mencatat realisasi PNBP sektor pertambangan adalah Rp 75,16 T, jauh lebih tinggi ketimbang target sebesar Rp 39,1 T. Ini berarti nilai DBH yang diterima pemerintah yang ada di Maluku Utara adalah 1,06 persen dari total DBH pertambangan mineral dan batubara. Oleh karenanya, rincian penerimaan DBH ini sangatlah penting dibuka kepada publik agar terjadi transparansi dan sebagai bentuk kedaulatan rakyat.“Saya meminta agar prinsip otonomi daerah, baik desentralisasi kewenangan dan fiskal ditegakkan, agar daerah penghasil tambang/batubara juga mempunyai dampak terhadap daerah. Tidak adil jika daerah penghasil sumber daya hanya mendapatkan proporsi keuangan yang rendah. Padahal dana pembangunan ini sangatlah penting untuk meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana dan meningkatkan kualitas hidup rakyat. Keadilan itu haruslah berawal dari niat baik, termasuk dalam hal ini regulasi yang berpihak pada daerah,” tutup Rusdi. (***)